Saya belajar memahami konflik di
Indonesia. Karena saya bukan orang asing. Sekarang saya bertanya, apa masih
pantas saya berjuang untuk negara ini?”
- Hervin Saputra / Angga Haksoro
- 24 Maret 2011
-
Tionghoa Indonesia. Bukan orang
lain.
Meilisa Husein masih ingat
tanggalnya: 28 Oktober 2010. Dari Harmoni, Jakarta Pusat, dia menyetop bus
jurusan Cimone-Pasar Baru. Tujuannya Pasar Baru, janji bertemu dengan seorang
kawan.
Perempuan berusia 25 tahun ini
mengambil kursi paling belakang. Jika melihat ke depan, Meilisa sejajar dengan
koridor pembatas kursi bus. “Saya persis di tusuk sate, di tengah-tengah,” kata
Meilisa.
Seluruh kursi terisi. Tak ada
penumpang yang berdiri. Menjelang Pasar Baru, dua pengamen naik. Satu
bernyanyi, satu memetik gitar. Meilisa tak terlalu memperhatikan dua pengamen
itu. Sekejap, dia sempat bertatapan dengan keduanya.
Selanjutnya dia sibuk dengan telepon
genggamnya. “Mengabari teman saya di Pasar Baru. Saya segera sampai,” ujar
Meilisa.
Seusai menyanyikan lagu, salah
seorang pengamen menyodorkan kantong permen mengumpulkan uang. Termasuk pada
Meilisa. Meilisa mengangkat tangannya, meminta maaf tidak memberi uang.
Kedua pengamen kesal. Salah seorang
berbicara dengan nada tinggi dan kasar. “Ah dasar Cina! Kalo nggak dirampok,
dibikin nangis, baru minta tolong,” kata Meilisa menirukan kata-kata kasar
pengamen.
Ketika berkata kasar, para pengamen
memang tidak menatap langsung Meilisa. Namun Meilisa yakin kalimat itu
ditujukan padanya. “Itu jelas ditujukan pada saya.”
Meilisa turun di Pasar Baru.
Demikian pula dua pengamen itu. Meilisa tambah kesal, karena kedua pengamen
ngeloyor pergi seolah-olah kalimat kasar tadi adalah hal biasa. ”Saya pengen
ngomong sesuatu buat ngebalikin omongan dia. Tapi saya bingung mau ngomong apa?
Mereka juga gak bisa diajak ngomong. Saya emosi banget,” ujar Meilisa.
“Saya merasa kok, cuma saya doang
(yang dihardik)? Di sana kan ada banyak orang, mungkin ada Batak, ada Jawa.”
Masih kesal, Meilisa mendatangi
kantor polisi terdekat untuk mengadukan kasus ini. Alih-alih mendapat keadilan,
polisi malah balik bertanya. ”Kan Mbak memang Cina. Kalau Mbak dipanggil Cina,
memang kenapa?” Kata Meilisa menirukan ucapan polisi.
Menurut Meilisa, polisi kebingungan
menemukan masalah hukum dalam pengaduan itu. Meilisa mahasiswa Jurusan Ilmu
Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia itu tahu pasal diskriminasi
rasial diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Meilisa ngotot bertahan di kantor
polisi. Dia bersikukuh membuat pengaduan. Sejam kemudian, baru pengaduan Meilisa
dicatat. “Saya nggak mau pulang, saya mau lapor.”
***
Meilisa lahir di permukiman Tionghoa
di Mangga Besar, 12 Mei 1985. Dia memiliki nama Tionghoa, Tjong Li Sa. Menurut
Meilisia, dia generasi kedua yang lahir di Indonesia. Pada 1930-an, kakeknya
merantau dari Guandong (Kwantung) provinsi di pesisir selatan China ke pulau
Belitung.
Etnis Tionghoa yang menetap di
Bangka Belitung menggunakan bahasa dialek hakka (khek). Sebagian etnis Tionghoa
penutur bahasa ini menetap di Kalimantan Barat. Kakek Meilisa kemudian pindah
ke Jakarta. Orang tua Meilisa lahir di Belitung sebelum diboyong ke Jakarta.
Kakek Meilisa penganut Buddha.
Menurut dia, warga keturunan Tionghoa termasuk kelompok yang pertama kali
menyebarkan agama Kristen di Indonesia. Pada 1952, didirikan Gereja Kristen
Baptis Jakarta 1952. Gereja ini adalah gereja Kristen Protestan tradisional
yang sebagian besar jemaatnya etnis Tionghoa.
Generasi kedua keluarga Meilisa
kebanyakan memilih Kristen. Agama itu yang dianut Meilisa hingga kini. Meilisa
aktif di komunitas Gereja Kristen Baptis.
Dalam beberapa hal, Meilisa memiliki
pandangan yang berbeda dengan papanya. Misalnya, tentang nasionalisme. Menurut
Meilisa, ayahnya keturunan Tionghoa yang memiliki nasionalisme tinggi terhadap
tanah leluhurnya di China. Ayahnya sangat bangga menceritakan keberhasilan
China dalam percaturan dunia.
”Papa saya mengamati perkembangan
China. Dia ceritakan ke saya dengan sangat bangga, China memiliki kereta
tercepat dunia, 456 kilometer per jam. Dia bangga China mengalahkan Amerika
Serikat. China memiliki militer yang maju. Kalau bikin Olimpiade, funding-nya
sangat kuat. Orang yang datang terkagum-kagum. China bisa kirim orang ke
bulan,” kata Meilisa menirukan ucapan papanya.
Sekalipun demikian, Meilisa mengaku
tidak pernah dipaksa untuk memiliki pandangan nasionalis seperti papanya.
Apalagi papa Meilisa yang berprofesi sebagai pedagang juga bergaul baik dengan
masyarakat non Tionghoa.
Meilisa menetapkan dirinya sebagai
orang Indonesia. Baginya, Tionghoa termasuk dalam salah satu suku bangsa yang
ada di nusantara. Atas alasan tersebut, etnis Tionghoa tidak boleh
didiskriminasi dan berhak diperlakukan sama seperti etnis lainnya. ”Saya ini
jati dirinya anak bangsa, bukan adaptasi,” ujar Meilisa.
Pergaulan lintas suku dilakukannya
di banyak tempat. Selain giat di gereja, Meilisa juga bergaul dengan bekas
teman sekolahnya, komunitas gitar klasik, mahasiswa hukum, dan teman kerja di
PT Kirin.
Terutama di kampus, Meilisa bergaul
dengan teman-teman dari suku Batak, Jawa, dan lain-lainnya. Menurut dia, suku
Batak memiliki kesamaan sikap dengan etnis Tionghoa. Menganut patrialisme dan
terbiasa bicara terus terang.
“Bapak itu sosok utama. Penghormatan
terhadap orang tua itu tinggi, tidak boleh ada bantahan. Petuah orang tua harus
dihormati,” kata perempuan yang meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas
Atmajaya, Jakarta.
Dia tidak membantah ada keturunan
Tionghoa yang cenderung bergaul dengan sesama etnis. Menurut dia, ada kedekatan
karena persamaan lingkungan, kepercayaan, dan nilai. “Bukan mau eksklusif. Tapi
secara naluriah memang begitu,” ujarnya.
Identitas Indonesia yang melekat
pada Meilisa membuat dia semakin kesal atas perlakuan dua pengamen yang
menghardiknya. “Saya sakit hati. Saya masih dianggap orang lain,” kata dia.
Perlakuan seperti itu membuatnya
bertanya pada dirinya sendiri: pantaskah dia berjuang untuk bangsanya sendiri?
Meilisa aktif di Solidaritas Nusa Bangsa, lembaga swadaya masyarakat yang
mengadvokasi kasus diskriminasi rasial.
“Saya belajar memahami konflik di
Indonesia. Karena saya bukan orang asing. Sekarang saya bertanya, apa masih
pantas saya berjuang untuk negara ini?” ujarnya.
***
Direktur Solidaritas Nusa Bangsa,
Ester Indah Jusuf mengakui perlakuan terhadap etnis Tionghoa membaik sejak
Reformasi 1998. Penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
(SKBRI) dan diizinkannya perayaan Imlek salah satu buktinya.
Keturunan Tionghoa juga diperlakukan
lebih baik. Jika ada keturunan Tionghoa yang mengajukan protes dalam urusan
hukum, aparat akan bersikap lebih baik. “Lebih baik dari etnis yang lain,” kata
dia.
Namun dalam praktik birokrasi,
diskriminasi masih terasa. Beberapa Kantor Catatan Sipil di Jakarta misalnya,
masih meminta SBKRI terhadap keturunan Tioghoa yang mengurus kartu tanda
penduduk.
Ester menerima laporan, keturunan
Tionghoa masih dimintai dana tambahan ketika membuat paspor dan akta kelahiran.
“Kebanyakan mereka nggak mau repot. Mereka ke biro jasa. Dan itu melanggengkan
diskriminasi,” ujar Ester.
Menurut anggota Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, Joseph Adi Prasetyo, warga Tionghoa masih menjadi target
pemerasan aparat birokrasi. “Mencari rupiah tambahan dengan cara mempersulit,”
kata Joseph Adi Prasetyo.
Joseph Adi Prasetyo mengatakan,
laporan diskriminasi ras dan etnis selama ini hanya berdasarkan pemberitaan
media massa. Pemerintah belum memiliki catatan formal.
Dia berharap kelak Komnas HAM dapat
memantau diskriminasi rasial tidak hanya terhadap warga Tionghoa, tetapi juga
etnis lainnya. ”Misalnya daerah yang hanya mengizinkan putra daerah menjadi
kepala daerah. Atau perusahaan yang hanya menerima etnis Tionghoa sebagai
karyawan,” ujar Joseph. (*)
Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar