Rabu, 30 November 2011



Saya belajar memahami konflik di Indonesia. Karena saya bukan orang asing. Sekarang saya bertanya, apa masih pantas saya berjuang untuk negara ini?”
  • Hervin Saputra / Angga Haksoro
  • 24 Maret 2011
  •  
Tionghoa Indonesia. Bukan orang lain.  
Meilisa Husein masih ingat tanggalnya: 28 Oktober 2010. Dari Harmoni, Jakarta Pusat, dia menyetop bus jurusan Cimone-Pasar Baru. Tujuannya Pasar Baru, janji bertemu dengan seorang kawan.
Perempuan berusia 25 tahun ini mengambil kursi paling belakang. Jika melihat ke depan, Meilisa sejajar dengan koridor pembatas kursi bus. “Saya persis di tusuk sate, di tengah-tengah,” kata Meilisa.
Seluruh kursi terisi. Tak ada penumpang yang berdiri. Menjelang Pasar Baru, dua pengamen naik. Satu bernyanyi, satu memetik gitar. Meilisa tak terlalu memperhatikan dua pengamen itu. Sekejap, dia sempat bertatapan dengan keduanya.
Selanjutnya dia sibuk dengan telepon genggamnya. “Mengabari teman saya di Pasar Baru. Saya segera sampai,” ujar Meilisa.
Seusai menyanyikan lagu, salah seorang pengamen menyodorkan kantong permen mengumpulkan uang. Termasuk pada Meilisa. Meilisa mengangkat tangannya, meminta maaf tidak memberi uang.
Kedua pengamen kesal. Salah seorang berbicara dengan nada tinggi dan kasar. “Ah dasar Cina! Kalo nggak dirampok, dibikin nangis, baru minta tolong,” kata Meilisa menirukan kata-kata kasar pengamen.
Ketika berkata kasar, para pengamen memang tidak menatap langsung Meilisa. Namun Meilisa yakin kalimat itu ditujukan padanya. “Itu jelas ditujukan pada saya.”
Meilisa turun di Pasar Baru. Demikian pula dua pengamen itu. Meilisa tambah kesal, karena kedua pengamen ngeloyor pergi seolah-olah kalimat kasar tadi adalah hal biasa. ”Saya pengen ngomong sesuatu buat ngebalikin omongan dia. Tapi saya bingung mau ngomong apa? Mereka juga gak bisa diajak ngomong. Saya emosi banget,” ujar Meilisa.
“Saya merasa kok, cuma saya doang (yang dihardik)? Di sana kan ada banyak orang, mungkin ada Batak, ada Jawa.”
Masih kesal, Meilisa mendatangi kantor polisi terdekat untuk mengadukan kasus ini. Alih-alih mendapat keadilan, polisi malah balik bertanya. ”Kan Mbak memang Cina. Kalau Mbak dipanggil Cina, memang kenapa?” Kata Meilisa menirukan ucapan polisi.
Menurut Meilisa, polisi kebingungan menemukan masalah hukum dalam pengaduan itu. Meilisa mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia itu tahu pasal diskriminasi rasial diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Meilisa ngotot bertahan di kantor polisi. Dia bersikukuh membuat pengaduan. Sejam kemudian, baru pengaduan Meilisa dicatat. “Saya nggak mau pulang, saya mau lapor.”
***
Meilisa lahir di permukiman Tionghoa di Mangga Besar, 12 Mei 1985. Dia memiliki nama Tionghoa, Tjong Li Sa. Menurut Meilisia, dia generasi kedua yang lahir di Indonesia. Pada 1930-an, kakeknya merantau dari Guandong (Kwantung) provinsi di pesisir selatan China ke pulau Belitung.
Etnis Tionghoa yang menetap di Bangka Belitung menggunakan bahasa dialek hakka (khek). Sebagian etnis Tionghoa penutur bahasa ini menetap di Kalimantan Barat. Kakek Meilisa kemudian pindah ke Jakarta. Orang tua Meilisa lahir di Belitung sebelum diboyong ke Jakarta.
Kakek Meilisa penganut Buddha. Menurut dia, warga keturunan Tionghoa termasuk kelompok yang pertama kali menyebarkan agama Kristen di Indonesia. Pada 1952, didirikan Gereja Kristen Baptis Jakarta 1952. Gereja ini adalah gereja Kristen Protestan tradisional yang sebagian besar jemaatnya etnis Tionghoa.
Generasi kedua keluarga Meilisa kebanyakan memilih Kristen. Agama itu yang dianut Meilisa hingga kini. Meilisa aktif di komunitas Gereja Kristen Baptis.
Dalam beberapa hal, Meilisa memiliki pandangan yang berbeda dengan papanya. Misalnya, tentang nasionalisme. Menurut Meilisa, ayahnya keturunan Tionghoa yang memiliki nasionalisme tinggi terhadap tanah leluhurnya di China. Ayahnya sangat bangga menceritakan keberhasilan China dalam percaturan dunia.
”Papa saya mengamati perkembangan China. Dia ceritakan ke saya dengan sangat bangga, China memiliki kereta tercepat dunia, 456 kilometer per jam. Dia bangga China mengalahkan Amerika Serikat. China memiliki militer yang maju. Kalau bikin Olimpiade, funding-nya sangat kuat. Orang yang datang terkagum-kagum. China bisa kirim orang ke bulan,” kata Meilisa menirukan ucapan papanya.
Sekalipun demikian, Meilisa mengaku tidak pernah dipaksa untuk memiliki pandangan nasionalis seperti papanya. Apalagi papa Meilisa yang berprofesi sebagai pedagang juga bergaul baik dengan masyarakat non Tionghoa.
Meilisa menetapkan dirinya sebagai orang Indonesia. Baginya, Tionghoa termasuk dalam salah satu suku bangsa yang ada di nusantara. Atas alasan tersebut, etnis Tionghoa tidak boleh didiskriminasi dan berhak diperlakukan sama seperti etnis lainnya. ”Saya ini jati dirinya anak bangsa, bukan adaptasi,” ujar Meilisa.
Pergaulan lintas suku dilakukannya di banyak tempat. Selain giat di gereja, Meilisa juga bergaul dengan bekas teman sekolahnya, komunitas gitar klasik, mahasiswa hukum, dan teman kerja di PT Kirin.
Terutama di kampus, Meilisa bergaul dengan teman-teman dari suku Batak, Jawa, dan lain-lainnya. Menurut dia, suku Batak memiliki kesamaan sikap dengan etnis Tionghoa. Menganut patrialisme dan terbiasa bicara terus terang.
“Bapak itu sosok utama. Penghormatan terhadap orang tua itu tinggi, tidak boleh ada bantahan. Petuah orang tua harus dihormati,” kata perempuan yang meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Atmajaya, Jakarta.
Dia tidak membantah ada keturunan Tionghoa yang cenderung bergaul dengan sesama etnis. Menurut dia, ada kedekatan karena persamaan lingkungan, kepercayaan, dan nilai. “Bukan mau eksklusif. Tapi secara naluriah memang begitu,” ujarnya.
Identitas Indonesia yang melekat pada Meilisa membuat dia semakin kesal atas perlakuan dua pengamen yang menghardiknya. “Saya sakit hati. Saya masih dianggap orang lain,” kata dia.
Perlakuan seperti itu membuatnya bertanya pada dirinya sendiri: pantaskah dia berjuang untuk bangsanya sendiri? Meilisa aktif di Solidaritas Nusa Bangsa, lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi kasus diskriminasi rasial.
“Saya belajar memahami konflik di Indonesia. Karena saya bukan orang asing. Sekarang saya bertanya, apa masih pantas saya berjuang untuk negara ini?” ujarnya.
***
Direktur Solidaritas Nusa Bangsa, Ester Indah Jusuf mengakui perlakuan terhadap etnis Tionghoa membaik sejak Reformasi 1998. Penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) dan diizinkannya perayaan Imlek salah satu buktinya.
Keturunan Tionghoa juga diperlakukan lebih baik. Jika ada keturunan Tionghoa yang mengajukan protes dalam urusan hukum, aparat akan bersikap lebih baik. “Lebih baik dari etnis yang lain,” kata dia.
Namun dalam praktik birokrasi, diskriminasi masih terasa. Beberapa Kantor Catatan Sipil di Jakarta misalnya, masih meminta SBKRI terhadap keturunan Tioghoa yang mengurus kartu tanda penduduk.
Ester menerima laporan, keturunan Tionghoa masih dimintai dana tambahan ketika membuat paspor dan akta kelahiran. “Kebanyakan mereka nggak mau repot. Mereka ke biro jasa. Dan itu melanggengkan diskriminasi,” ujar Ester.
Menurut anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Joseph Adi Prasetyo, warga Tionghoa masih menjadi target pemerasan aparat birokrasi. “Mencari rupiah tambahan dengan cara mempersulit,” kata Joseph Adi Prasetyo.
Joseph Adi Prasetyo mengatakan, laporan diskriminasi ras dan etnis selama ini hanya berdasarkan pemberitaan media massa. Pemerintah belum memiliki catatan formal.
Dia berharap kelak Komnas HAM dapat memantau diskriminasi rasial tidak hanya terhadap warga Tionghoa, tetapi juga etnis lainnya. ”Misalnya daerah yang hanya mengizinkan putra daerah menjadi kepala daerah. Atau perusahaan yang hanya menerima etnis Tionghoa sebagai karyawan,” ujar Joseph. (*)
Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar